I. PENDAHULUAN
Secara etimologis,
kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti: panggilan, ajakan,
dan seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk
dari isim masdar yang berasal dari kata kerja دعى-يدعو-دعوةartinya : menyeru,
memanggil, mengajak.
Dalam kamus bahasa Indonesia arti kata berdakwah
merupakan penyiaran
agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk,
mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama, dan dalam pengertian yang integralistik dakwah merupakan
suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban
dakwah untuk mengubah sasarandakwah agar bersedia masuk ke
jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami. oleh karena
itu diperlukan unsur-unsur penting dalam berdakwah dan mendakwahi masyarakat
sehingga menghasilkan perubahan sikap bagi orang yang diseru atau diajak. Dan didalam suatu unsur
dakwah ada juga
karakteristiknya, dan harus dipahami secara mendalam agar dalam berdakwah
mendapatkan hasil yang maksimal.[1]
A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari karakteristik ?
2. Apa saja karakteristik unsur-unsur
dakwah ?
II. PEMBAHASAN
A.Pengertian
Istilah karakteristik diambil dari bahasa
Inggris yakni characteristic, yang artinyamengandung sifat khas. Ia
mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Dalam
kamus lengkap psikologi karya Chaplin, dijelaskan bahwa karakteristik merupakan
sinonim dari kata karakter, watak, dan sifat yang memiliki pengertian di
antaranya:
v Suatu
kualitas atau sifat yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan
ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi, suatu objek, suatu kejadian.
v Intergrasi
atau sintese dari sifat-sifat individual dalam bentuk suatu untas atau
kesatuan.
v Kepribadian
seeorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral.
Jadi
di antara pengertian-pengertian di atas sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Chaplin, dapat disimpulkan bahwa karakteristik itu adalah suatu sifat yang
khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek.[2]
B. Unsur-Unsur Dakwah
Islam adalah
agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa
aktif melakukan kegiatan dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam berkaitan
erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Semakin gencar dan tepat dakwah
itu disampaikan, maka akan semakin baik pula hasilnya.[3]
Ketepatan
dan keberhasilan dakwah akan dapat terwujud dengan baik apabila unsur-unsur
dakwah terpenuhi dengan baik. Adapun unsur-unsur tersebut adalah da’I ( subjek dakwah ), mad’u ( objek dakwah ), maddah ( materi dakwah ),
wasilah ( media dakwah ), thoriqoh ( metode dakwah ), atsar ( efek dakwah ).
a) Da’i ( subjek dakwah )
Yang di maksud da’i adalah orang
yang melaksanakan tugas berdakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik
secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga.
Juru dakwah
menurut A. Hasjmy dalam bukunya Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an adalah
para penasehat, para pemimpin, dan pemberi ingat yang memberi nasihat dengan
baik, mengarang dan berkhutbah, memusatkan jiwa raganya dalam wa’ad dan wa’id
(berita pahala dan berita siksaan) dan dalam membicarakan tentang kampung
akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelmbang dunia.[4]
Dan adapun sifat-sifat penting yang harus
dimiliki oleh da’I secara umum berpedoman dari pada ahli diantaranya adalah
yang dikemukakan oleh Syekh Ali Mahfud menurutnya ada beberapa yang harus
dimiliki oleh da’I diantaranya:
v Da’I harus berilmu dengan ilmu
al-qur’an.
v Mengamalkan ilmunya seta selaras
antara perkataan dan perbuatan
v Penyantun dan berlapang dada dari
sinilah merupakan alat pembuka hati yang akan memberikan daya untuk
mnghilangkan penyakit-penyakit hati.
v Keberanian dalam bertindak membela
kebenaran .
v Bersih tidak silau terhadap apapun
yang ada didepan atau ditangan orang lain.
v Berilmu dengan keadaan umat yang
akan dihadapinya.
b) Mad’u ( Objek Dakwah)
Unsur dakwah yang kedua adalah
mad’u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah,
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam
maupun tidak, atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan.
Dalam proses
pelaksanaan dakwah mad’udapat bersifat individu atau kolektif. Individu
karena memang tujuan dakwah adalah mengajak dan mendorong manusia seper-orangan
untuk mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari agar
memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bersifat kolektif karena
dakwah juga bertujuan untuk membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang
bersendikan Islam. Masyarakat Islam tidak hanya terbentuk manakala tidak
didukung oleh anggota yang tidak Islami, demikian pula sebaliknya, individu
yang Islami tidak akan terbentuk di dalam masyarakat yang tidak menghargai
islam (Aris Saefullah, 2003: 48)[5]
c) Maddah (Materi Dakwah)
Unsur lain selalu ada dalam proses
dakwah maddah atau materi dakwah. Maddah dakwah adalah masalah isi pesan atau
materi yang disampaikan da’i pada mad’u. dalam hal ini sudah jelas bahwa yang
menjadi maddah dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam yang
dijadikan maddah dakwah itu pada garis besarnya dapat di kelompokkan sebagai
berikut:
v
Masalah Akidah (keimanan)
Aspek akidah adalah yang akan
membentuk moral (akhlak)manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali
dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah aqidah atau keimanan.
Orang yang memiliki iman yang benar (hakiki) akan
cenderung untuk berbuat baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena
perbuatan jahat akan berkonsekuensi pada hal-hal yang buruk. Iman inilah yang
berkaitan dengan dakwah Islam dimana amar ma’ruf nahi mungkar dikembangkan
yang kemudian menjadi tujuan utama dari suatu proses dakwah.
v
Masalah Syari’ah
Materi dakwah yang bersifat syari’ah ini
sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Disamping mengandung dan mencakup
kemaslahatan sosial dan moral, materi dakwah ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran yang benar dan kejadian secara cermat terhadap hujjah atau
dalil-dalil dalam melihat persoalan pembaruan, sehingga umat tidak terperosok
kedalam kejelekan, karena yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan.
v
Masalah Muamalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan muamalahlebih
besar porsinya daripada urusan ibadah. Ibadah dalam muamalahdisini
diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka
mengabdi kepada Allah SWT. Statement ini dapat dipahami dengan alasan :
a)
Dalam al-Qur’an dan al-Hadits
mencakup proporsi terbesar sumber hukum yang berkaitan dengan urusan muamalah.
b)
Ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat
perorangan.
v
Masalah Akhlaq
Secara etimologis, kata akhlaq berasal
dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang
berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabi’at. Sedangkan secara
terminologi, pembahasan akhlaqberkaitan dengan masalah tabi’at atau
kondisi temperature batin yang mempengaruhi perilaku manusia.
Berdasarkan pengertian ini, maka ajaran akhlaq dalam
Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi
dari kondisi kejiwaannya. Islam mengajarkan kepada manusia agar berbuat baik
dengan ukuran yang bersumber dari Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SWT, pasti dinilai baik oleh
manusia sehingga harus dipraktikkan dalam perilaku sehari-hari.
d) Wasilah (Media Dakwah)
Unsur dakwah yang keempat adalah
wasilah (media) dakwah, yaitu alat yang dipergunakan untuk menyampaikan materi
dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u.
Untuk menyampaikan ajaran Islam
kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Hamzah Ya’qub membagi
wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu sebagai
berikut :
v Lisan, inilah wasilah dakwah yang
paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini
dapat membentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
v Tulisan, buku majalah, surat kabar,
surat menyurat (kores pondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya.
v Lukisan, gambar, karikatur,dan
sebagaiya.
v Audio visual, yaitu alat dakwah yang
merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televise, film,
slide, ohap, internet, dan sebagainya.
v Akhlaq, yaitu perbuatan-perbuatan
nyata yang mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati oleh mad’u.
e) Thariqoh (Metode Dakwah)
Hal yang sangat erat kaitannya
dengan metode wasilah adalah metode dakwah thoriqoh ( metode )
dakwah yaitu, cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da’I
untuk menyampaikan materi (Wardi Bachtiar ,1997: 33) berdasar surat an-Nahl
ayat 125.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ...........
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah ** dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah
yang lebih Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (An-Nahl:125)
Siti Muriah dalam bukunya Metodologi
Dakwah Kontemporer menyebutkan bahwa metode dakwah arif untuk diterapkan
ada tiga macam yaitu adalah sebagai berikut :
v Bil Hikmah
Kata Al-Hikmah mempunyai banyak
pengertian. Pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli bahasa maupun
pakar al-Qur’an, tidak hanya mencakup pemaknaan ekstensinya saja, akan tetapi
juga pemaknaan dalam konsepnya juga, sehingga pemaknaan lebih luas dan
bervariasi. Dalam beberapa kamus, kata al-hikmah diartikan ; Al-Adl (keadilan),
Al-hilm (kesabaran dan ketabahan), kebijakan, pemikiran atau pendapat yang
baik, al-haqq (kebenaran), meletakkan sesuatu pada tempatnya (Asep Muhyiddin,
dkk, 2002:79)
Dari beberapa pemaknaan tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa dakwah bil hikmah pada intinya merupakan seruan
atau ajakan dengan cara bijak, argumentatif, dilakukan dengan adil, penuh
kesabaran dan ketabahan sesuai dengan risalah an-nubuwwah dan ajaran al-Qur’an.
Dan menurut Muhammad Husain Yusuf dalam buku Di Balik Strategi Dakwah Rasul
yang telah dikutip oleh Asep Muhyiddin mengatakan bahwa dakwah dengan hikmah
berarti dakwah yang disesuaikan dengan kadar akal, bahasa, dan lingkungan para
pendukungnya (Muhyiddin, 2002:82)[6]
v Bil
Mau’idzah Hasanah
Secara etimologis, mauidzoh merupakan
bentukan dari kata wa’adza-ya’idzu-iwa’dzan dan ‘idzata; yang berarti
“menasihati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan,” berarti juga “menyuruh
untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat.”
Alhasanah merupakan lawan dari sayyiat
;maka dapat dipaami bawa mauidza dapat berupa kebaikan, dapat juga
kejahatan; hal itu tergantung pada isi yang disampaikan seseorang dalam
memberikan nasihat dan anjuran , juga tergantung pada merode yang dipakai
pemberi nasihat.
Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa Mauidzah
al Hasanah adalah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik di mana ia dapat
bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan
sehingga pihak audience dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh
subyek. [7]
Menurut
filosof Tanthawy Jauhari, yang dikutip Faruq Nasution mengatakan bahwa Mauidzah
al Hasanah adalah Mauidzah Ilahiyah yaitu upaya apa saja dalam menyeru
/mengajak manusia kepada jalan kebaikan (ma yad’u ila al shale) dengan
cara rangsangan ,menimbulkan cinta (raghbah) dan rangsangan yang
menimbulkan waspada (rahbah).[8]
v
Berdebat (Bil Mujadalah)
Berdebat menurut bahasa berarti berdiskusi atau
beradu argumen. Di sini, berarti berusaha untuk menaklukan lawan bicara
sehingga seakan ada perlawanan yang sangat kuat terhadap lawan bicara serta
usaha untuk mempertahankan argumen dengan gigih.
Secara
epistemologis, berdebat sebagaimana didefinisikan para ulama adalah:
- Usaha yang dilakukan seseorang dalam mempertahankan argumen untuk menghadapi lawan bicaranya.
- Cara yang berhubungan dengan pengukuhan pendapat atau madzhab.
- Membandingkan berbagai dalil atau landasan untuk mencari yang paling tepat.
Sebagaimana firman Allah d dalam surat An-Nahl
ayat 125 :
وجادلهم
باالتي هي أحسن {النحل:125}
“Debatlah mereka dengan
cara yang lebih baik.”
Melihat berbagai macam perdebatan
ini, Al-Quran menyarankan perdebatan yang terbaik sehingga menjadi metode yang
dianjurkan, sebagai yang diungkapkan dalam nashnya sebagai salah satu metode
dakwah. Metode perdebatan yang baik tersebut merupakan salah satu metode dakwah
rasional (nabhaj
aqly) adapun bentuknya bias berupa diskusi, tukar pandangan, atau
dialog.
Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalam menerapkan
metode diskusi dengan cara yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut:
- Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekan, karena tujuan diskusi bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai pada kebenaran.
- Tujuan diskusi semata-mata untuk menunjukan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah.
- Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri. Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa tetap dihargai dan dihormati.[9]
f)
Efek Dakwah
Setiap aksi dakwah akan menimbulkan
reaksi. Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses
dakwah ini sering kali dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i.
Dengan demikian penelitian atau evaluasi terhadap penerimaan
dakwah ditekankan untuk dapat menjawab sejauh mana ketiga aspek perubahan
tersebut yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek behavioral pada
penerima dakwah.
v Efek kognitif
Setelah menerima pesan dakwah, mitra
dakwah akan menyerap isi dakwah tersebut melalui proses berfikir, dan efek
kognitif ini bisa terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui,
dipahami dan dimengerti oleh mad’u tentang isi pesan yang diterimanya.Aspek
kognitif ini amat menentukan aspek-aspek perubahan berikutnya.
v Efek Efektif
Efek ini adalah merupakan pengaruh
dakwah berupa perubahan sikap komunikan ( mitra dakwah) setelah menerima pesan.
Pada tahap atau aspek ini pula
menerima dakwah dengan pengertian dan pemikirannya terhadap pesan dakwah yang
telah diterimanya akan membuat keputusan untuk menerima atau menolak pesan
dakwah.
v Efek Behavioral
Efek ini merupakan suatu bentuk efek
dakwah yang berkenaan dengan pola tingkah laku mitra dakwah dalam merealisasikan
materi dakwah yang telah diterima dalam kehidupan sehari- hari. Efek ini muncul
setelah melalui proses kognitif dan efektif.
Jadi perbuatan dan perilaku
seseorang itu pada hakekatnya adalah perwujudan dari perasaan dan pikirannya.[10]
III. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur dakwah itu ada enam, diantaranya adalah :
1. Da’i ( pelaku dakwah)
2. Mad’u (mitra dakwah)
3. Maddah ( materi dakwah)
4. Wasilah ( media dakwah)
5. Thariqah ( metode dakwah )
6. Atsar ( efek dakwah)
Dan didalam unsur-unsur tersebut terdapat karakteristik,
yaitu sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing unsur, yang menjadi acuan
kita agar dalam berdakwah menjadi baik sesuai yang diinginkan.
IV. Daftar Pustaka
Faruq Nasution, Aplikasi
Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)
Moh
Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta : Prenada Media, 2004
Sayyid Qutb, fi
dhibah al Quran, (Cairo: Dar al Syuruq, 1399 H/1979 M), Jilid IV
Uswatun Khasanah Siti, Berdakwah Dengan Jalan Debat Antara Muslim Dan
Non Muslim,Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007.
[3]Uswatun, Siti. 2007. Berdakwah
dengan jalan debat antara muslim dan non muslim. Purwokerto. Hal 28
[4]Uswatun, Siti. 2007. Berdakwah
dengan jalan debat antara muslim dan non muslim. Hal. 28-29
[5]Uswatun, Siti. 2007. Berdakwah
dengan jalan debat antara muslim dan non muslim. Hal. 30-31
[6]Uswatun, Siti. 2007. Berdakwah
dengan jalan debat antara muslim dan non muslim. Hal. 32-33
[7]Ali
Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997), hal. 121
[8]Faruq
Nasution, Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), hal. 1-2
[9]Sayyid
Qutb, fi dhibah al Quran, (Cairo: Dar al
Syuruq, 1399 H/1979 M), Jilid IV, hal. 2202
[10]Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta : Prenada
Media hal 75 - 142
0 comments:
Post a Comment